enjoy hanging out here !
Saturday, January 15, 2011
Pemuja Rahasia dalam Hidup Dua Manusia
Tugas akhir yang mengharuskan gue pada akhirnya, mau ga mau, rela ga rela, sempet ga sempet, bisa ga bisa, membuat satu buah CERPEN. JEGEEER! Bagai petir di siang bolong, gue yang ga pandai bikin cerita, merangkai kata, apalagi untuk menjadikannya sebuah cerita, harus bikin cerpen. Yaudah, mau gimana lagi, namanya mahasiswa, yang katanya harus serba bisa. Dengan segala kekuatan dan kelicikan gue bulatkan tekad untuk bikin cerpen. Mau tau hasilnya? Nih dia, bisa dibaca! Tapi karena satu dan lain hal ada beberapa yang gue ubah demi untuk kebaikan. Cekidot!
Pemuja Rahasia dalam Hidup Dua Manusia
Hari-hariku sungguh membosankan. Selalu aku lewati dengan emosi di hati. Aku tak tahu mengapa dia selalu menatapku dengan tatapan mata yang kejam, seolah-olah aku adalah pengganggu hidupnya. Dia seperti paku payung yang menghalangi langkah hidupku. Sakit untuk dijalani, namun tak bisa aku hindari. Sungguh keadaan yang menyesakkan.
Keadaan ini bermula ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku di kampus, ketika aku masih menjadi mahasiswa baru. Saat itu aku masih lugu, polos, dan tidak mengerti lingkungan kampus. Ketika jam makan siang, aku yang tak tahu-menahu dengan keadaan kampus, berjalan menuju kantin. Di kantin aku memilih tempat duduk kosong yang menurutku paling nyaman. Akan tetapi, aku tidak sadar kalau di samping tempat duduk yang aku tempati sekarang ada sekumpulan lelaki yang kuduga adalah seniorku. Mereka berjumlah lima orang. Dari pakaian yang seadanya, gaya rambut yang berantakan, dan terkesan begajulan, aku dapat menerka kalau mereka adalah preman kampus ini. Mereka serempak menatapku ketika aku baru saja duduk.
Tak lama setelah aku duduk, tiba-tiba dua orang dari mereka mendekatiku lalu duduk di sampingku. Satu dari mereka berambut gimbal, kulitnya agak hitam, berpostur agak tinggi, dan aku lihat ada tato wajah wanita di pergelangan tangannya, sedangkan yang satu lagi berambut cepak seperti tentara, badannya kurus, dan berpostur pendek. Dari matanya, aku bisa menduga kalau ia sedang mabuk.
Kedua orang itu kemudian menggodaku. Si gimbal memegang rambutku yang panjang bergelombang. Secara refleks, aku menepiskan tangan laki-laki itu. Akan tetapi, aku tidak sadar kalau aku terlalu kencang menepiskan tangan laki-laki itu. Ia kemudian berdiri lalu menjambak rambutku. Raut wajahnya sangat menyeramkan. Ia amat marah setelah menerima tepisan tanganku tadi. Si laki-laki cepak hanya tertawa melihat temannya yang menjambak rambutku itu.
Aku berteriak kesakitan dan meminta pertolongan. Hingga akhirnya datang seorang laki-laki yang langsung memukul jatuh orang yang menjambakku. Jambakkan tangan si gimbal seketika lepas dari rambutku, namun aku masih kesakitan dan memegangi rambutku.
Rasa penasaran mengalihkan rasa kesakitanku. Aku ingin melihat siapa laki-laki yang menolongku itu. Seorang laki-laki muda yang gagah berdiri di depanku. Ia lumayan tinggi, badannya tegap, kulitnya sawo matang, dan berambut ikal. Wajahnya lumayan tampan. Satu hal yang membuatku tercengang adalah ia menggunakan nametag di dadanya, sama seperti aku. Ia juga mahasiswa baru. Di nametagnya bertuliskan nama Torue.
Melihat si gimbal jatuh tersungkur, teman-temannya tidak tinggal diam. Mereka lalu mengeroyok Torue. Aku hanya bisa terdiam melihat perkelahian yang tidak seimbang itu. Aku takut dan tak tahu harus berbuat apa. Torue menjadi bulan-bulanan senior karena aku. Pengeroyokan itu baru selesai ketika dua orang satpam melerai mereka dan menolong Torue.
Aku masih saja terdiam ketika melihat wajah Torue babak belur dan sudah tak setampan tadi. Ia dibantu berdiri oleh salah satu satpam yang melerai tadi. Setelah berdiri, ia menatapku tajam. Keringat mengucur deras di wajahnya. Nafasnya tidak beraturan. Keempat senior yang mengeroyoknya memberi ancaman padanya, mereka tidak akan membiarkan Torue berkuliah dengan tenang di kampus ini.
Torue sepertinya tidak menghiraukan perkataan mereka. Ia masih saja menatapku dengan tajam. Seolah-olah menyalahkanku atas kejadian itu. Lalu ia melangkah pergi keluar kantin. Aku tak tahu ia menuju ke mana. Mungkin ke gedung PKM (Pusat Kesehatan Mahasiswa), batinku.
Aku pun pergi meninggalkan kantin. Berjalan sepuluh meter di belakang Torue. Meskipun babak belur, jalannya masih terlihat gagah. Ternyata ia tidak pergi ke PKM, ia menuju ke parkiran motor. Dan aku berjalan menuju kelas.
Tiba-tiba aku tersadar dari kebodohanku. Aku sama sekali tidak mengucapkan terima kasih padanya. Bahkan aku tidak mempedulikannya dan menyapanya sama sekali. Ah, betapa bodohnya diriku ini. Aku keluar kelas bermaksud untuk mengejarnya. Tetapi baru selangkah keluar dari kelas, aku melihat dosen sudah ada di dekat kelas. Aku kembali masuk kelas dan mengikuti kuliah.
“Torue Iskandar Sejati! Hadir tidak Torue Iskandar Sejati, dosen menyebutkan nama mahasiswa-mahasiswanya untuk mengisi daftar hadir. Di pertengahan daftar hadir, nama tersebut dipanggil. Dosen memanggilnya beberapa kali, tetapi orang yang namanya dipanggil itu tidak hadir di dalam kelas.
Oh iya, aku baru sadar. Pria yang menolongku tadi bernama Torue. Ternyata aku sekelas dengannya. Oh tidak, bagaimana ini. Mungkin sekarang ia sudah membenciku karena aku sama sekali tidak mempedulikan dia tadi.
***
Ah, sakit sekali pelipisku ini. Aku hanya bisa mengerang kesakitan sendiri di dalam kamarku. Dalam ingatanku masih terekam dengan jelas wajah gadis yang kutolong tadi siang. Gadis yang kuperhatikan terus semenjak ia masuk kantin. Aku tahu dari nametag di dadanya, ia adalah mahasiswi baru. Dari nametagnya aku juga bisa tahu namanya, Olla.
Pesona Olla mampu menarik seluruh perhatianku. Tingginya semampai, wajahnya melukiskan kecantikan khas wanita Indonesia. Rambutnya hitam bergelombang dan kulitnya putih berseri. Sungguh suatu mahakarya Tuhan yang sangat indah menurutku.
Kecantikan Olla membuatku tak takut terhadap senior-seniorku. Aku ingin melindunginya walaupun seperti ini jadinya, babak belur. Ancaman senior-senior tengik itu tak membuatku takut sedikitpun. Akan tetapi, walaupun aku babak belur, Olla sama sekali tidak menyapaku. Ia hanya menatapku datar. Tatapannya membuatku salah tingkah. Matanya indah sekali. Terlalu tinggi sepertinya harapanku untuk mengenal dia lebih jauh. Sepertinya ia tidak tertarik padaku dan tidak memerlukan pertolongan dari pria sepertiku.
Waktu demi waktu berlalu. Di kampus aku satu kelas dengannya. Aku sering menatapnya ketika sedang kuliah. Akan tetapi, ia selalu memalingkan wajahnya ketika memergokiku memperhatikannya. Mungkin ia tidak menyukaiku sama sekali. Selama empat tahun aku hanya bisa menatapnya. Menikmati wajahnya yang indah. Menikmati rasa suka dan cinta yang kutahu pasti bertepuk sebelah tangan. Menikmati kegiatan sehari-harinya di dunia maya. Menikmati wajahnya dalam setiap foto yang kuambil dari facebooknya.
***
Hari Jumat pagi, satu hari sebelum wisuda, datang berita yang menggemparkan. Mantan ketua DPM (Dewan Permusyawaratan Mahasiswa) meninggal dunia. Ia mengalami kecelakaan sepeda motor dan mengalami pendarahan di dalam kepala bagian belakang. Ia meninggal saat sudah lulus kuliah dan baru akan diwisuda. Aku sangat terpukul mendengar berita ini. Tanpa sadar air mata mengalir deras di pipiku.
Pukul 09.00 pagi, aku dan teman-temanku melayat ke rumah duka. Sesampainya di sana, kami disambut oleh salah satu saudara almarhum. Kami dipersilakan masuk. Air mataku kembali mengalir deras melihat sesosok tubuh yang badannya ditutupi kain. Wajahnya terlihat begitu pucat. Aku tak tahan untuk melihatnya lebih lama. Makin lama aku melihat wajahnya, makin deras air mataku. Aku hanya bisa menangis dalam pelukan Erna, sahabatku.
Tiba-tiba aku merasakan sentuhan hangat di bahuku. Seorang wanita lanjut usia mengelus bahuku. Wajahnya terlihat sangat terpukul, namun ia berusaha untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihannya. Matanya bengkak, mungkin karena ia sempat menangis dalam waktu yang cukup lama. Ia adalah ibunda dari almarhum.
“Nak, apa kamu yang bernama Olla?”, ia bertanya kepadaku.
“Iya betul, Bu. Saya Olla”, jawabku.
“Bisa ikut Ibu sebentar?”, ia mengajakku untuk ikut bersamanya. Aku sangat lemas saat itu. Aku meminta Erna untuk menemaniku. Ibunda almarhum mengajakku masuk ke sebuah kamar. Kamar yang tidak begitu besar, luasnya aku perkirakan hanya 3 x 4 m. Cat temboknya berwarna biru. Di sisi pojok sebelah kanan tedapat sebuah lemari pakaian. Di samping lemari terdapat sebuah kasur berukuran sedang. Poster-poster mantan pemimpin dan orang-orang berpengaruh dunia menghiasi tembok kamarnya. Aku terus memperhatikan setiap detail kamar itu.
Aku tercengang ketika melihat salah satu sisi tembok yang tidak dipenuhi oleh poster-poster tersebut. Pada sisi tembok itu aku melihat banyak sekali fotoku yang ditempel di sana. Ketika aku masih bergumul dengan pikiranku tentang foto-fotoku yang tertempel di sana, ibunda almarhum memberikanku sebuah kotak berukuran sedang yang berisi berlembar-lembar surat.
Aku mengambil salah satu dari surat itu untuk kubaca. Erna membantuku memegang kotak. Aku buka surat itu, kemudian aku baca.
Selasa, 2 November 2010
Hai Olla! Seperti biasa, hari ini aku hanya bisa menatapmu, memujamu, dan mencintaimu dalam diam. Kamu begitu cantik mengenakan kaus berwarna pink itu. Aku tersenyum sendiri melihatmu.
Olla, tahukah kamu, aku sangat senang sekali dulu bisa menolongmu ketika kamu diganggu oleh senior-senior brengsek itu. Meskipun kamu tidak mempedulikan dan berterima kasih padaku setelah itu, aku tetap senang. Karena memar yang kudapat saat itu adalah hasil dari pengorbanan awalku untukmu.
Kebodohan terbesarku adalah sampai sekarang masih saja tidak berani untuk mendekatimu. Aku terlalu takut untuk mengganggumu. Aku takut kamu tak suka padaku. Oleh karena itu, aku hanya berani memujamu di dalam duniaku.
Aku jatuh cinta padamu pada pandangan yang pertama… Kamu cinta pertamaku.
Semoga keindahanmu selalu bisa kunikmati dalam diamku ya!
Torue I. S
Kakiku terasa lemas setelah membaca surat itu. Aku tak sanggup berdiri lagi. Aku jatuh terduduk. Air mataku kali ini mengalir lebih deras dari sebelumnya. Aku menagis sejadi-jadinya. Begitu juga dengan ibunda Torue. Ia juga menangis melihatku seperti ini. Erna hanya bisa memelukku dengan erat. Ia mencoba menenangkanku.
Sahabatku itu tahu betul kalau aku juga sangat mencintai Torue. Kesalahan terbesarku adalah tidak berterima kasih kepadanya ketika dulu ia menolongku. Andai saja aku peduli dan berterima kasih padanya, mungkin aku bisa mengubah situasi ini. Mungkin kami sudah saling bertukar perasaan.
Kini hanya penyesalan yang selalu berkutat dalam pikiranku. Air mata terus membanjiri wajahku. Bukan hanya mata yang menangis, tapi hati di dalam dada pun ikut menangis. Bahkan lebih deras.
Torue… Aku cinta kamu…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment