enjoy hanging out here !




Tuesday, October 9, 2012

Kisah Perwayangan Sawitri dan Setyawan




Pada jaman dahulu kala, di negeri Madra bertahtalah seorang raja bernama Prabu Aswapati yang berbudi luhur, adil, dan bijaksana. Beliau mempunyai seorang putri yang bernama Dewi Sawitri yang cantik parasnya, laksana Dewi Sri dari Kahyangan. Walaupun Sawitri mempunyai paras yang elok, tubuhnya yang indah menggiurkan, matanya yang seperti bunga saroja, tapi belum ada yang meminangnya. Maka pada suatu hari Prabu Aswapati bersabda kepada putrinya “Putriku Sawitri, sudah saatnya kau bersuami. Namun, karena sampai sekarang tak ada yang meminangmu, maka pilih dan carilah sendiri seorang yang patut menjadi suamimu.” Mendengar sabda ayahnya, Sawitri pun segera bersujud dan pergi dengan diiringi oleh beberapa pengawal dengan kereta kencana memasuki hutan belantara menuju ke tempat pertapaan para Brahmana.
Di tengah hutan, Dewi Sawitri berjumpa dengan seorang pria yang tampan bernama Setyawan. Ia adalah seorang putra dari seorang Brahmanaraja yang bernama Jumat Sena. Brahmanaraja tersebut semula adalah seorang raja di Negeri Syalwa, tetapi kemudian menjadi Brahmana karena cacat, matanya buta. Pada waktu
putranya masih kecil beliau meninggalkan tahtanya yang telah dirampas oleh musuh. Setyawan yang dibesarkan di tengah hutan pertapaan itulah yang menjadi pilihan Dewi Sawitri.
Dewi Sawitri kembali menghadap Ayahandanya dengan menceritakan pengalamannya itu. Namun, betapa terkejutnya ketika Ayahanda mendengar sabda Batara Narada yang saat itu berkunjung ke Negeri Madra, “Aduhai raja Madra, putrimu ternyata kurang teliti memilih suami, walaupun Setyawan lurus dan luhur budinya, tetapi ia mempunyai cacat yang akan menghilangkan segala kebajikannya. Cacatnya itu hanya satu, yaitu setahun lagi Setyawan akan sampai pada ajalnya.” Maka setelah mendengar sabda Batara Narada itu, Raja Aswapati segera memerintahkan Dewi Sawitri untuk memilih orang lain, agar kelak tidak menjadi janda. Namun, Dewi Sawitri menjawab, “Ayahandaku, sekali patik memilih, patik tidak akan lagi memilih orang lain karena yang diputuskan oleh hati harus diucapkan dengan suara, kemudian dinyatakan dengan perbuatan, itulah pedoman hamba.” Sawitri tidak mau mengubah pendiriannya, maka perkawinan tersebut akhirnya dilaksanakan. Dikawinkanlah Sawitri dengan Setyawan.
Sejak saat itu Sawitri diboyong ke hutan pertapaan. Sawitri selalu menyenangkan suaminya dengan perkataan manis dan kebaktian serta kesetiaannya yang luar biasa. Namun, tubuh Sawitri makin hari makin susut karena siang malam selalu ingat akan perkataan yang disabdakan oleh Batara Narada.
Hari berganti hari, maka sampailah hari yang keempat sebelum Setyawan meninggal, Sawitri telah berjanji akan berdiri tegak bertapa selama 3 hari 3 malam. Tepat pada hari Setyawan akan menemui ajalnya, pagi-pagi Sawitri menghampiri suaminya dan berkata, “Janganlah kakanda hari ini pergi seorang diri ke hutan karena adinda tak kuasa bercerai dengan kakanda. Perkenankanlah hamba bersama kakanda pergi ke hutan mencari kayu.” Lalu Setyawan sambil mendelik, “Adinda, kau belum pernah menempuh hutan selebat itu, bagaimana adinda dapat berjalan? Padahal adinda terlalu lemah akibat terus berpuasa dan bertapa.” Sawitri menjawab, “Hamba tidak lelah oleh puasa dan apa yang telah hamba putuskan harus hamba kerjakan.” Brahmaraja Jumat Sena dan Setyawan setelah mendengar ucapan Sawitri itu akhirnya mengabulkan permintaannya.
Maka berjalanlah Sawitri di belakang suaminya dengan rasa pilu dan teriris-iris menanti saat yang telah ditetapkan itu. Setelah mengumpulkan buah-buahan, maka mulailah Setyawan membelah kayu. Lalu, tiba-tiba keluarlah peluh yang membasahi tubuhnya dan menyebabkan terasa sakit di kepalanya. Dengan sempoyongan Setyawan menghampiri Sawitri sambil berkata, “Adinda, kepala kakanda bagai ditikam lembing rasanya sehingga kakanda tak kuasa berdiri, biarlah kakanda tidur sejenak.” Maka Sawitri menghampiri suaminya, kemudian duduk bersimpuh di tanah. Kepala Setyawan diletakkannya di haribaannya. Lalu ia teringat akan sabda Batara Narada, serta sadar bahwa inilah saat ajal Setyawan telah tiba.
Pada saat itu juga datanglah seorang yang bermahkota merah, matanya merah, seram sikapnya dengan sebuah jerat di tangannya, sungguh-sungguh menakutkan wujudnya. Ia adalah Batara Yamadipati yang berdiri di sisi Setyawan. Kemudian ia berkata, “Sawitri, suamimu hidupnya telah habis.” Barata Yamadipati pun berjalan pergi dengan menjerat serta membawa nyawa Setyawan. Sawitri, istri yang setia yang telah memenuhi janji itu dengan rasa pilu mengikuti Batara Yamadipati.
Maka sabda Batara Yamadipati, “Kembalilah Sawitri, berbuatlah untuk merawat mayat suamimu, kau telah memenuhi segala kewajiban terhadap suamimu.”
Sawitri menjawab, “Ke mana junjungan patik dibawa, ke situlah patik pergi. Oleh karena itu, janganlah ditolak perjalanan patik.”
Barata Yamadipati berkata, “Perkataanmu sungguh tinggi artinya, oleh karena itu mintalah sesuatu pasti akan kukabulkan asalkan jangan minta mayat suamimu dihidupkan kembali.”
Sawitri meminta, “Kembalikan kerajaan, kekuasaan, dan kesehatan mertua patik sehingga beliau dapat melihat kembali.”
Sabda Batara Yamadipati, “Permintaanmu akan kuberi dan kembalilah kamu supaya tidak payah di jalan.”
Namun, kata Sawitri, “Patik tidak akan payah selama berdampingan dengan suami patik karena sekali patik bercampur dengan seorang yang berbudi, selama itulah patik akan mengabdi.”
Sabda sang betara Yamadipati, “Perkataanmu sungguh menyenangkan orang budiman, oleh karena itu mintalah sekali lagi, tapi asal tidak minta hidupnya kembali Setyawan.”
Sawitri meminta seraya memohon kepada betara Yamadipati, “Mohon
kami diberi 100 orang putra dan hidup di suatu kerajaan yang panjang punjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah ripah tata tentram karta raharja.”
Sabda Batara Yamadipati, “100 orang putra yang gagah perkasa, bahagia sempurna akan kuberi dan sekarang kembalilah Sawitri karena kau telah berjalan terlalu jauh.”
Sawitri menjawab, “Bagaimana patik dapat berputra 100 orang, apabila patik tidak bersuami, tak ada gunanya patik selamat dan bahagia, jika suami patik tak ada. Oleh karena itu, patik memohon hidupkanlah Setyawan junjungan patik.”
Batara Yamadipati pun bersabda, “Baiklah kulepas nyawa suamimu, berbahagialah engkau dengan junjunganmu. Dan Setyawan akan kuberi usia 100 tahun.”
Sesudah mengabulkan permintaan Sawitri, maka lenyaplah Batara Yamadipati dan pergilah Sawitri ke tempat suaminya berbaring. Dengan perlahan-lahan duduk bersimpuh dan mengangkat kepala Setyawan ke haribaannya. Tak lama kemudian Setyawan membuka matanya. Sawitri dengan perasaan haru, sambil menyanggul rambutnya memelukkan tangannya kepada suaminya.
Sementara itu Prabu Jumat Sena yang berada di pertapaan sangat terkejut karena tiba-tiba ia dapat melihat kembali. Dengan rasa bersyukur dan bahagia kepada Yang Maha Kuasa, beliau menanti kedatangan putra-putranya. Tak lama kemudian datanglah Setyawan dengan Sawitri dan sambil bersujud, berceritalah Sawitri dihadapan mertuanya apa yang telah dialaminya selama di hutan, serta perjumpaannya dengan Batara Yamadipati.


sumber: http://wayang.wordpress.com